HUBUNGAN ANTAR MANUSIA DALAM SATU AGAMA



HUBUNGAN ANTAR MANUSIA DALAM SATU AGAMA








Makalah Ini Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tafsir Ayat-Ayat Sosial
  Dosen Pengampu   : Muh. Amin Dr, Lc

Oleh :
Nur Arifin                  : 12540058
Nur Hidayat               : 12540099
Ahmad Syaifullah     : 12540027
Andi Saputra             : 12540080




PRODI SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNEVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2013


 BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah agama samawi terakhir yang dirisalahkan melalui Rasulullah SAW. Karena Islam sebagai agama terakhir dan juga sebagai penyempurna ajaran-ajaran terdahulu, maka sangat bisa dipahami, jika Islam merupakan ajaran yang paling komprohensif, Islam sangat rinci mengatur kehidupan umatnya, melalui kitab suci al-Qur’an. Allah SWT memberikan petunjuk kepada umat manusia bagaimana menjadi insan kamil atau pemeluk agama Islam yang kafah atau sempurna.
 Secara garis besar ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Hablum Minallah (hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan Hablum Minannas (hubungan manusia dengan manusia).Allah menghendaki kedua hubungan tersebut seimbang walaupun hablumminannas lebih banyak di tekankan. Namun itu semua bukan berarti lebih mementingkan urusan kemasyarakatan, namun hal itu tidak lain karena hablumminannas lebih komplek dan lebih komprehensif. Oleh karena itu suatu anggapan yang salah jika Islam dianggap sebagai agama transedental.


RUMUSAN MASALAH

1.      Apa penjelasan mengeai surat al hujarat ayat 10 – 12 ?
2.      Bagaimana Asbab an Nuzulnya ?
3.      Pesan apa yang dapat diambil sebagai pelajaran dari ayat tersebut ?








BAB II

PEMBAHASAN



1. Al - Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 10-12
a. Teks Ayat



ِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْابَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوااللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ().
يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُواْ خَيْراً مِّنْهُمْ وَلاَ نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلاَ تَلْمِزُواْ أَنفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُواْ بِالاٌّلْقَـبِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الايمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّـلِمُونَ()يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ اجْتَنِبُواْ كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُواْ وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُواْ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ  ()يأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَـكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَـرَفُواْ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللَّهِ أَتْقَـكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.

b. Terjemah Mufrodat

-    Ayat 11

قَوْمٌ
لاَ يَسْخَرْ
ءَامَنُواْ
الَّذِينَ
يأَيُّهَا
Suatu kaum
Janganlah mengolok-olok
Mereka beriman
Orang-orang yang
wahai
مِّنْهُمْ
خَيْراً
أَن يَكُونُواْ
عَسَى
مِّن قَوْمٍ
dari mereka (yang mengolok-olok)
Lebih baik
Mereka (yang diolok-olok)
(karena) boleh jadi
Terhadap kaum (laki-laki) yang lain
أَن يَكُنَّ
عَسَى
مِّن نِّسَآءٍ
نِسَآءٌ
وَلاَ
Mereka (yang diolok-olok)
(karena) boleh jadi
Terhadap perempuan-perempuan yang lain
Para perempuan
Dan janganlah
أَنفُسَكُمْ
تَلْمِزُواْ
وَلاَ
مِّنْهُنَّ
خَيْراً
Antara sesame kalian
Kalian asling mencela
Dan jangnalh
Dari mereka (yang diolok-olok)
Lebih baik
الاسْمُ
بِئْسَ
بِالاٌّلْقَـبِ
تَنَابَزُواْ
وَلاَ
Nama itu
Seburuk-buruk
Dengan julukan/gelar (yang buruk)
Kalian saling memanggil
Dan janganlah
لَّمْ
وَمَن
الايمَانِ
بَعْدَ
الْفُسُوقُ
Tidak
Dan siapa yang
keimanan
sesudah
(adalah) kefasikan

الظَّـلِمُونَ
هُمُ
فَأُوْلَـئِكَ
يَتُبْ

Orang-orang Dzalim.
mereka adalah
Maka mereka itu
Dia bertaubat

-         Ayat 12

كَثِيراً
اجْتَنِبُواْ
ءَامَنُواْ
الَّذِينَ
يأَيُّهَا
Banyak
Kalian jauhilah
Mereka beriman
Orang-orang yang
Wahai
وَلاَ
إِثْمٌ
الظَّنِّ
إِنَّ بَعْضَ
مِّنَ الظَّنِّ
Dan janganlah
dosa
Prasangka (itu adalah)
Sesuangguhnya sebagian
Dari prasangka
بَعْضاً
بَّعْضُكُم
يَغْتَب
وَلاَ
تَجَسَّسُواْ
(terhadap) sebagian yang lain
Sebagian dari kalian
menggunjing
Dan janganlah
Kalian memata-matai aib/kekurangan (orang lain)
أَخِيهِ
لَحْمَ
أَن يَأْكُلَ
أَحَدُكُمْ
أَيُحِبُّ
Saudaranya sendiri
daging
Untuk memakan
Salaha seorang diantara kalian
Apakah suka
إِنَّ
اللَّهَ
وَاتَّقُوا ْ
فَكَرِهْتُمُوهُ
مَيْتاً
Sesungguhnya
(kepada) Allah
dan bertaqwalah kalian
Tentyu kalian merasa benci/ jijik terhdapnya
(yang)mati/ bangkai


رَّحِيمٌ
تَوَّابٌ
اللَّهَ


Maha Kekal kasih saying Nya
Maha Penerima Taubat
Allah
                                










c.      Terjemah Ayat

10. Sesunggunya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat". (Al-hujurat, )

11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah imandan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.Dan bertakwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.


d.      Sebab Turunnya Ayat

-Ayat ke-10
      ini adalah lanjutan kepada ayat ke-9. Ayat ini menegaskan bahawa orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara. Orang-orang yang beriman  bahawa konsep persaudaraan dalam Islam itu penting dan sesuatu yang ‘integral’ kepada kekuatan ummah. Ikatan persaudaraan dalam Islam haruslah diutamakan dan kedudukannya mestilah di atas ikatan-ikatan lainnya


-         Ayat 11
Ibnu Munzir mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Juraij menceritakan, mereka menduga bahwa ayat ini diturunkan mengenai Salman Al Farisi r.a. yaitu ketika ia makan lalu tidur dan sewaktu ia tidur kentut; lalu ada seorang lelaki yang menggunjingkan tentang makan dan tidur Salman itu, maka turunlah ayat ini.

-         Ayat 12
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Abu Mulaikah menceritakan, bahwa ketika penaklukan kota Mekah Bilal langsung naik ke atas Kabah kemudian mengumandangkan suara azan, sebagian orang-orang ada yang mengatakan, "Apakah hamba sahaya yang hitam ini berani azan di atas Kabah?" Sebagian dari mereka mengatakan, "Jika Allah murka, niscaya Dia akan mencegahnya."Lalu Allah swt.menurunkan firman-Nya, "Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan..." (Q.S. Al Hujurat, 13) Ibnu Asakir di dalam kitab Mubhamat mengatakan, "Aku telah menemukan di dalam manuskrip yang ditulis oleh Ibnu Basykuwal, bahwa Abu Bakar bin Abu Daud mengetengahkan sebuah hadis di dalam kitab tafsir yang ditulisnya, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Hindun. Rasulullah saw. memerintahkan kepada Bani Bayyadhah supaya mereka mengawinkan Abu Hindun dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Lalu mereka menjawab, "Wahai Rasulullah!Apakah pantas bila kami menikahkan anak-anak perempuan kami dengan bekas hamba sahaya kami?"Lalu turunlah ayat ini.

e.        Tafsir Ayat

Tafsiran pertama yaitu tafsir Jalalin ayat 10
 اِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ(Sesunguhnya orang-orang mu'min adalah saudara) dalam seagama – فَاَصْلِحُوْابَيْنَ اَخَوَيْتِكُمْ (karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian) apabila mereka berdua bersengketa. Menurut qiraat yang lain dibaca Ikhwatikum, saudara-saudara kalian وَاتَّقُوااللَه لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ (dan bertalwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahamt).[1][8]
Dalam tafsir Departemen Agama dijelaskan dalam kata-kata pentingnya yaitu:
Ikhwah إِخْوَةٌ yang artinya saudara, bentuk jamak dari akhun. Kata jadiannya ukhuwwah atau persaudaran. Al-akh adalah seorang yang menyertai orang lain dalam kelahiran, baik dari dua pihak yaitu ayah dan ibu, atau salah satu pihak saja atau dari hal persusunan. Istilah ini (persaudaraan) bisa untuk keluarga atau satu kabilah atau satu pekerjaan (profesi) atau lainnya…[2][9]

    2) Ayat 11
Dalam ayat ini, Allah SWT memperingatkan kaum mukmin supaya jangan ada suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olokkan itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokkan, dan demikian pula di kalangan wanita, jangan ada segolongan wanita yang mengolok-olokkan wanita yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olokkan itu pada sisi Allah lebih baik dan lebih terhormat dari wanita-wanita yang yang mengolok-olokkan itu. Dan Allah SWT melarang pula kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan, dan dilarang pula panggilan-panggilan dengan gelar-gelar yang buruk seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, sabda Rasulullah saw sebagai berikut yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu. akan tetapi Ia memandang kepada hatimu dan perbuatanmu.”
Hadis ini mengandung isyarat bahwa seorang hamba Allah jangan memastikan kebaikan atau keburukan seseorang semata-mata karena melihat kepada amal perbuatannya saja, sebab ada kemungkinan seorang tampak mengerjakan amal kebaikan, padahal Allah melihat di dalam hatinya ada sifat yang tercela, dan sebaliknya pula mungkin ada seorang yang kelihatan melakukan suatu yang tampak buruk, akan tetapi Allah melihat dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang mendorong kepadanya bertobat dari dosanya. Maka amal perbuatan yang nampak dari luar itu, hanya merupakan tanda-tanda saja yang menimbukan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai ke tingkat meyakinkan.Maka Allah SWT melarang kaum mukminin memanggil orang dengan panggilan-panggilan yang buruk setelah mereka beriman. Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, maka orang-orang Ansar banyak mempunyai nama lebih dari satu, dan jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, kadang-kadang dipanggil dengan nama yang tidak disukainya, dan setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, maka turunlah ayat ini.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini, beliau menerangkan bahwa ada seorang laki-laki yang pernah di masa mudanya mengerjakan suatu yang buruk, lalu ia bertobat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu, karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik, membangkit-bangkit kefasikan setelah beriman. Itu sebabnya Allah melarang panggilan-panggilan dengan gelar-gelar yang buruk itu.
Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan, itu tidak dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan As Siddiq, kepada Umar dengan Faruq, kepada Usman dengan sebutan Zun Nurain dan kepada Ali dengan Abu Turab dan kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah).
Panggilan yang buruk dilarang diucapkan sesudah orangnya beriman karena gelar-gelar buruk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, yang sekarang tidak pantas lagi dilontarkan kepada orangnya setelah ia beriman. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka itu dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri mereka sendiri dan pasti akan menerima konsekwensinya berupa azab dari Allah pada Hari Kiamat.

3)     Ayat 12
Dalam ayat ini, Allah SWT memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman, supaya mereka menjauhkan diri dari prasangka terhadap orang-orang yang beriman dan jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka kalimat itu harus diberi tanggapan yang baik, ditujukan kepada pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka. Umar telah berkata yang artinya demikian:  "Jangan sekali-kali kamu menerima ucapan yang keluar dari mulut saudaramu, melainkan dengan maksud dan pengertian yang baik, sedangkan kamu sendiri menemukan arah pengertian yang baik itu."
Dan diriwayatkan dan Rasulullah saw bahwa sesungguhnya Allah mengharamkan dari orang mukmin darahnya, kehormatannya dan menyangka kepadanya dengan sangkaan yang buruk, atau dilarang berburuk sangka. Adapun orang yang secara terang-terangan berbuat maksiat, atau sering dijumpai berada di tempat orang yang biasa minum arak hingga mabuk, maka buruk sangka terhadap mereka itu tidak dilarang. Imam Baihaqi dalam kitabnya Syu'abul Iman meriwayatkan sebuah hadis dari Said bin Musayyab sebagai berikut:
Beberapa saudaraku di antara sahabat Rasulullah saw telah menyampaikan sebuah tulisan kepadaku yang berisi beberapa petunjuk, di antaranya, "Letakkanlah urusan saudaramu di atas sangkaan yang sebaik-baiknya selagi tidak datang kepadamu yang membantah sangkaanmu itu dan jangan sekali-kali engkau memandang buruk perkataan yang pernah diucapkan oleh seorang muslim, padahal engkau menemukan tafsiran yang baik pada ucapannya itu; dan barangsiapa yang menempatkan dirinya di tempat purbasangka, maka janganlah ia mencela, kecuali kepada dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang menyembunyikan rahasianya, maka pilihan itu berada di tangannya, dan tidak engkau balas seorang yang mendurhakai Allah (pada dirimu), dengan contoh yang lebih baik ialah taat kepada Allah demi balasan itu; dan hendaklah engkau selalu bersahabat dengan orang-orang yang benar sehingga engkau berada di dalam lingkup budi pekerti yang mereka upayakan, karena mereka itu menjadi perhiasan dalam kekayaan dan menjadi perisai ketika menghadapi bahaya yang besar. Dan jangan sekali-kali meremehkan sumpah agar kamu tidak dihinakan oleh Allah SWT.Dan jangan sekali-kali bertanya tentang sesuatu yang belum ada sehingga berwujud terlebih dahulu dan jangan engkau sampaikan pembicaraan kecuali kepada orang yang mencintainya. Dan tetaplah berpegang kepada kebenaran walaupun kamu akan terbunuh olehnya. Hindarilah musuhmu dan tetaplah menaruh curiga kepada kawanmu.kecuali orang yang benar-benar sudah dapat dipercaya, dan tidak ada yang dapat dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Dan bermusyawarahlah dalam urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan gaib.

F. Pesan pelajaran  yang dapat di ambil dari ayat tersebut adalah:
Ayat ke-10 ini menegaskan bahawa orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara. Orang-orang yang beriman sedar bahawa konsep persaudaraan (brotherhood) dalam Islam itu penting dan adalah sesuatu yang ‘integral’ kepada kekuatan ummah. Ikatan persaudaraan dalam Islam haruslah diutamakan dan kedudukannya mestilah di atas ikatan-ikatan lainnya.  Ikatan persaudaraan dalam Islam adalah yang terbaik sifatnya yang merangkumi aspek kasih-sayang, tolong-menolong tanpa diskriminasi kelas, pangkat dan kedudukan juga tanpa tipu-menipu dan tindas-menindas.
Sabda Rasulullah (SAW) dalam beberapa buah hadis Baginda (SAW) mengenai persaudaraan:
Ø  Tolong menolong:
Dari Abu Musa Al-Asha’ri, Rasulullah (SAW) bersabda “Orang beriman itu ibarat sebuah bangunan, setiap satu menyokong yang lainnya” (riwayat Bukhari dan Muslim) .
Ø  Kasih-sayang:
Dari Anas bin Malik, Rasulullah (SAW) bersabda “Tidak beriman (dengan iman yang sempurna) sesiapa di antara kamu sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya” (riwayat Bukhari dan Muslim).
Ø  Tidak tindas-menindas:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah (SAW) bersabda “Sesiapa yang menipu kita adalah bukan di kalangan kita (muslim yang benar beriman)” (riwayat Muslim).
Ø  Tidak berlama-lama dalam perselisihan faham:
Dari Abu Ayub Al-Ansari bahawa Rasulullah (SAW) bersabda: “Tidak boleh seorang muslim itu memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga malam dengan berpaling daripadanya bila bertemu, sesungguhnya yang terbaik antara keduanya adalah yang dahulu memberi salam” (riwayat Bukhari dan Muslim).



PENUTUP
Kesimpulan
Manusia adalah makhluk paling sempurna dibandingkan makhluk ciptaan Allah lainnya. Kesempurnaan tersebut dimiliki manusia karena manusia dianugerahi akal dan nafsu. Dengan dua unsur tersebut, maka akan terdapat beberapa identitas yang melekat pada diri manusia, di antaranya yaitu sebagai hamba (hubungan manusia dengan Allah), sebagai makhluk sosial (hubungan manusia dengan sesama), serta sebagai khalifah (hubungan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan Allah, yaitu sebagai hamba, maka manusia wajib beribadah kepada Allah sepanjang hidupnya, karena semua yang dilakukan manusia akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Dalam hal ini ibadah memiliki dua dimensi yaitu itu ibadah yang bersifat mahdhah (vertikal), maupun ibadah yang bersifat ghairu mahdhah (horizontal).  Selain sebagai makhluk individu yang diwajibkan menjalankan ibadah kepada Allah, manusia juga sebagai makhluk sosial. Dimana manusia hidup selalu membutuhkan orang lain. Manusia hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian, maka manusia haruslah memiliki akhlak yang baik, saling menolong dan menyayangi sesama manusia. Demikian pula dengan alam, selain menjalin hubungan baik dengan Sang Pencipta dan sesama manusia, manusia juga memiliki amanah sebagai khalifah di bumi, dimana manusia diberi kemuliaan untuk mengelola dan memanfaatkan segala fasilitas yang ada di bumi, tentu dengan tidak mengabaikan kaidah-kaidah pemanfaatan sumber daya. Wallahu’alam.







 DAFTAR PUSTAKA
Hadhiri, Choiruddin. Klasifikasi Kandungan Alquran. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Jazuli, Ahzami samiun. kehidupan dalam Pandangan Alquran. Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
Nurdin, Ali. Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Alquran. TT: PT. Gelora Aksara Pratama, 2006.
Shaleh, Abdul Rahman dan Muhbib Abdul Wahab. Psikologi Suatu Pengantar dalam Persfektif Islam. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Syihab, Dodi. Al-Quran Sandi Kecerdasan. Jakarta: Aldi Prima, 2010.
Thabathaba’I, M dan Abu Abdullah dan Az-Zanjani. Mengungkap Rahasia Al-Quran. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009.





Categories: